Sejarah Pemilu di Indonesia
Pemilu 1955
Ini
merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu
Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan
syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu
Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab
pertanyaan tersebut.
Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan
setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17
Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk
bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan
dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3
Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai
politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota
DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian
ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun
setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan
tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua
kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota
DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan
Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan
diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada
Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan
tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada
pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam
antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik
karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur
penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan
negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah
sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi)
kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain
serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak
terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang
diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2
(dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu;
2.
Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar
kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama
gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin
lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti
bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir
penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan
pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk
menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27
tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun
1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan
umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat
pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas
warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau
pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian
pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi
menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu
sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai
dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia
Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu
itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949
menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah
Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu
dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi.
Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57
UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui
pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil
menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini
baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari
PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu.
UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan
secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27
Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang
mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak
berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang
pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar,
jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat
pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu
ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus
daftar kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu
1955 adalah tingginya kesadaran berkom-petisi secara sehat. Misalnya,
meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri
yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan
otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang
menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap
sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan
segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu
memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Kons-tituante, maka
hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Pemilu untuk anggota
Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi
anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang
memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih
hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa
PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap
menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan
suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
Periode Demokrasi Terpimpin
Sangat
disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan
dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak
berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun
1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia
II.
Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik
dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden
untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang
diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai.
Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali
otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam istilah Prof.
Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada
democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme
pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia
membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif
itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara
sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong
(DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat
presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa
pemi-lihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945
tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR.
Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua
lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah
pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan
presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS
melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967)
setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30
S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan
sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan
pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan
Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini
adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat
tersalurkan lewat pemilihan berkala.
Pemilu 1971
Ketika
Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden
menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak
secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan
transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar
Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada
SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa
Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat
presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung
Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi
negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.
Pada
prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971,
yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan.
Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama
dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
UU yang diadakan
adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15
Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga
tahun.
Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu
1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan
bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk
perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai
secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat
pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi
sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang
menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil
harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
Dalam
hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam
Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang
menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi
habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi
mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih
kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya
sistem demiki-an lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.
Jelasnya,
pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam
hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah
pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord,
pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pembagian
kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai
dibagi dengan kiesquotient di daerah pemi-lihan. Tahap kedua, apabila
ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara
partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan
kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa
masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa
suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan
stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila
tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian
pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa
suara terbesar.
Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu
1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional
dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling
gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang
secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh
kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi.
Sekedar untuk
perbandingan, seandainya pembagian kursi peroleh-an suara partai-partai
pada Pemilu 1971 dilakukan dengan sistem kombinasi sebagaimana digunakan
dalam Pemilu 1955, dengan mengabaikan stembus accoord 4 partai Islam
yang mengikuti Pemilu 1971.
Dengan cara pembagian kursi seperti
Pemilu 1955 itu, hanya Murba yang tidak mendapat kursi, karena pada
pembagian kursi atas dasar sisa terbesar pun perolehan suara partai
tersebut tidak mencukupi. Karena peringkat terbawah sisa suara terbesar
adalah 65.666. PNI memperoleh kursi lebih banyak dari Parmusi, karena
suaranya secara nasional di atas Parmusi.
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997
Setelah
1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana.
Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni
tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi
jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan.
Satu hal yang
nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak
Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar.
Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR
berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun
1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai
Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI)
dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.
Hasilnya
pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi
pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang
sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung
membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol
Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer.
Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara
berturut-turut.
Hasil Pemilu 1977
Pemungutan suara Pemilu 1977
dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti
dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah
pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344
suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih
39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun
menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.
Pada
Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta
dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih
18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi
dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan
suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan
tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP
di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di
basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu
besar.
PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta,
Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan
kursi hanya 5.
PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding
gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya
memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara
PNI, Parkindo dan Partai Katolik.
Hasil Pemilu 1982
Pemungutan
suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei
1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar
meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan
Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara
nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti
kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih
48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu
ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.
Hasil Pemilu 1987
Pemungutan
suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak
di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai
85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah,
yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.
Hasil Pemilu kali ini
ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi
dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab
merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai
asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan
terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur
dan Jawa Tengah.
Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53
kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan
mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan
pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri
Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan
dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.
Hasil Pemilu 1992
Cara
pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu
sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9
Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab,
perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau
pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu
1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan
yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari
299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.
PPP
juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari
61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di
luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka’bah itu merosot. Pada
Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada
penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak
memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di
Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa,
tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya
mampu menaikkan 1 kursi secara nasional.
Yang berhasil menaikkan
perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu
1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi
dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam
dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di
DPR RI.
Hasil Pemilu 1997
Sampai Pemilu 1997 ini cara
pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara
yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan
suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa
setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali
merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen,
atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325
kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.
PPP
juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula
untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau
meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai
itu di Jawa sangat besar. Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal
dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun
menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya
mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan
Pemilu 1992.
Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes
terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten
Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan
penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di
daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP,
tidak mengambil bagian.
Pemilu 2004
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004
Pemilihan
Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah 2004 diselenggarakan secara serentak pada
tanggal 5 Appril 2004 untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota)
se-Indonesia periode 2004-2009.
Pemilihan Umum Anggota DPR
Pemilihan
Umum Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dan
diikuti oleh 24 partai politik. Dari 124.420.339 orang pemilih
terdaftar, 124.420.339 orang (84,07%) menggunakan hak pilihnya. Dari
total jumlah suara, 113.462.414 suara (91,19%) dinyatakan sah.
Pemilihan Umum Anggota DPD
Pemilihan
Umum Anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak,
dengan peserta pemilu adalah perseorangan. Jumlah kursi anggota DPD
untuk setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 kursi, dengan daerah
pemilihan adalah provinsi.
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2004
Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2004
diselenggarakan untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden
Indonesia periode 2004-2009. Pemilihan Umum ini adalah yang pertama
kalinya diselenggarakan di Indonesia. Pemilihan Umum ini diselenggarakan
selama 2 putaran, dan dimenangkan oleh pasangan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Aturan
Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum Anggota DPR 2009.
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih
dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20%
suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Apabila tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih,
dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan
Wakil Presiden.
Pendaftaran Pasangan Calon
Sebanyak 6 pasangan calon mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum, yakni :
1. K.H. Abdurrahman Wahid dan Marwah Daud Ibrahim (dicalonkan oleh Partai Kebangkitan Bangsa)
2. Prof. Dr. HM. Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo (dicalonkan oleh Partai Amanat Nasional)
3. Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.Sc. (dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan)
4. Hj. Megawati Soekarnoputri dan KH. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan)
5.
H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
(dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai
Persatuan dan Kesatuan Indonesia)
6. H. Wiranto, SH. dan Ir. H. Salahuddin Wahid (dicalonkan oleh Partai Golongan Karya)
Dari
keenam pasangan calon tersebut, pasangan K.H. Abdurrahman Wahid dan
Marwah Daud Ibrahim tidak lolos karena berdasarkan tes kesehatan,
Abdurrahman Wahid dinilai tidak memenuhi syarat kesehatan.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama
Pemilu
putaran pertama diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 dan diikuti
oleh 5 pasangan calon. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum yang diumumkan
pada tanggal 26 Juli 2004, dari 153.320.544 orang pemilih terdaftar,
122.293.844 orang (79,76%) menggunakan hak pilihnya. Dari total jumlah
suara, 119.656.868 suara (97,84%) dinyatakan sah. Karena tidak ada satu
pasangan yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka diselenggarakan
pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh 2 pasangan calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua, yakni SBY-JK dan Mega
Hasyim.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Kedua
Pemilu
putaran kedua diselenggarakan pada tanggal 20 September 2004, dan
diikuti oleh 2 pasangan calon. Berdasarkan hasil Pemilihan Umum yang
diumumkan pada tanggal 4 Oktober 2004, dari 150.644.184 orang pemilih
terdaftar, 116.662.705 orang (77,44%) menggunakan hak pilihnya. Dari
total jumlah suara, 114.257.054 suara (97,94%) dinyatakan sah.
Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih
Berdasarkan
hasil Pemilihan Umum, pasangan calon Susilo Bambang Yudhoyono dan
Muhammad Jusuf Kalla ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI
terpilih. Pelantikannya diselenggarakan pada tanggal 20 Oktober 2004
dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pelantikan
Presiden & Wakil Presiden terpilih tahun 2004 ini juga dihadiri
sejumlah pemimpin negara sahabat, yaitu: PM Australia John Howard, PM
Singapura Lee Hsien Loong, PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, PM Timor
Timur Mari Alkatiri, dan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah,
serta 5 utusan-utusan negara lainnya. Mantan Presiden Megawati
Sukarnoputri tidak menghadiri acara pelantikan tersebut. Pada malam hari
yang sama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan anggota
kabinet yang baru, yaitu Kabinet Indonesia Bersatu.
Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
tidak dapat diganggu gugat dan harus terus dipertahankan. Dalam debat
antarcalon presiden (02/7) yang bertema “NKRI, Demokrasi, dan Otonomi
Daerah, ketiga calon presiden (capres) berkomitmen menjaga keutuhan
Indonesia.
Capres Megawati Soekarnoputri mengemukakan, Pancasila
bukan hanya falsafah bangsa, tetapi juga bintang yang mengayomi
kehidupan seluruh rakyat. Menurutnya, Bhinneka Tunggal Ika adalah
perekat semua rakyat dan semua kepulauan yang ada di Indonesia.
“Marilah
kita kembali kepada jati diri dan harga diri bangsa Indonesia. Hanya
karena dengan demikian kita dapat terus mempersatukan NKRI dengan suatu
perekat bangsa yang dinamakan azas kegotongroyongan,” ujar Megawati.
Capres
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan, keutuhan NKRI sudah final
dan harus terus tetap ditegakkan. “Kita bersepakat bahwa NKRI sudah
final bagi kita,” ujar SBY.
Menurutnya, Indonesia sudah mempunyai
pilar berkehidupan negara yang sangat baik, yaitu Pancasila, UUD 1945,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Hakekat kemajemukan bangsa Indonesia
harus diikat dengan sistem persatuan dan harus diperhatikan ke depan,
termasuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan NKRI.
Capres Jusuf
Kalla (JK) mengungkapkan, NKRI lahir dari pengorbanan jutaan jiwa dan
raga para pejuang bangsa yang bertekad mempertahankan keutuhan bangsa.
Sebab itu, NKRI adalah prinsip pokok, hukum, dan harga mati. Menurut
Kalla, NKRI hanya dapat dipertahankan apabila pemerintahan adil, tegas,
dan berwibawa. Dengan pemerintahan yang adil, tegas, dan berwibawalah
masalah dan konflik di Indonesia dapat diselesaikan. “Demi NKRI, apa pun
akan kita lakukan. NKRI adalah hal pokok yang harus kita pertahankan,”
tegas Kalla.
Dalam debat yang dipandu oleh Dekan Fisip UGM Prof. Dr.
Pratikno ini, para capres juga ditanyakan langkah dan kebijakannya
terkait demokrasi dan otonomi daerah. Beberapa pertanyaan yang
dilontarkan moderator antara lain mengenai jaminan politik rakyat dalam
Pemilu, Pilkada dan politisasi birokrasi, masalah otonomi dan pemekaran
daerah, pluralisme, dan integrasi wilayah Indonesia.
Debat
antarcapres yang berlangsung di Balai Sarbini, Jakarta ini adalah debat
terakhir dari rangkaian debat yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU).
KPU telah menggelar lima kali debat yaitu, tiga kali debat antarcapres
dan dua kali debat antarcawapres.
Ketua KPU A.Hafiz Anshary
mengatakan, debat terakhir ini disaksikan sekitar 80 juta penduduk
Indonesia. “Mereka tentu berharap mendapat gambaran jelas dari para
calon pemimpin bangsa bagaimana komitmen ketiga calon terhadap ketiga
tema ini,” ujar Hafiz.
Hafiz juga memohon maaf jika selama
pelaksanaan rangkaian debat terdapat berbagai kekurangan. Menurutnya,
setiap selesai pelaksanaan debat, KPU bersama tim kampanye masing-masing
calon selalu melakukan evaluasi
Obama: Pemilu Indonesia Bebas dan Adil Sampaikan Selamat kepada Yudhoyono
Rabu, 15 Juli 2009 | 09:25 WIB
WASHINGTON, KOMPAS.com Presiden AS Barack Obama memuji pemilu di Indonesia yang baru saja selesai berlangsung bebas dan adil.
"Rakyat
Indonesia mengadakan pemilu bebas dan adil pada 8 Juli, dan Presiden
Yudhoyono dengan mengesankan memenangi pemilu," kata Obama dalam
pernyataan, Selasa (14/7) waktu AS atau Rabu WIB.
"Saya menyampaikan
selamat secara pribadi kepada Presiden Yudhoyono dan memastikan
keinginan Amerika bekerja sama dengannya dan rakyat Indonesia di
tahun-tahun mendatang untuk membangun hubungan lebih kuat di antara
kedua negara," tambahnya.Obama menegaskan, tingginya pemilih yang
menggunakan hak suaranya, kampanye yang bersemangat oleh semua kandidat,
dan tingginya minat media Indonesia serta organisasi sipil menunjukkan
demokrasi di Indonesia begitu kuat.Dalam pemilu presiden 8 Juli, Susilo
Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono diunggulkan terpilih
kembali sebagai presiden. Itu setelah semua hasil hitung cepat (quick
count) dari semua lembaga survei yang menyatakan pasangan ini menang
satu putaran.
Pemilu Tahun 2014
Pada tahun 2014 nanti rakyat indonesia kembali akan mengelar perta besar yang akan menelan dana miliaran rupiah dan memakan waktu yang tidak sedikit. dengan gonjang-ganjingnya perpolitikan sekarang patut menjadi pertanyaan. Akankah bangsa indonesia bisa melakukan pemilihan dengan bersih dan aman?.. tentu jawabannya kembali pada masyarakat dan pemimipin kita.
Dengan semakin dekannya pelaksanaan pemilu tahun 2014 sekarang ini diwarnai dengan gonjang-ganjingnya para elit politik. saling tuduh, salingsa tidak jelas pangkal ujungnya. Kapankah bangsa indonesia bisa menjadi makmur kalau elit yang akan bertarung selalu saling sikut.
Dari bursa capres tahun 2014 banyak calon yan akan menyodorkan diri sebagai prsiden
1. Mahfud MD
2. Yusup Kala
3. Mega Wati Sukaroputri
4. Prabowo Subianto
5. lain-lain
tapi yang kita harap pemimipin yang terpilih nanti bisa menjadikaan indonesia lebih baik dari sekarang.
Friday, 22 February 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan bahasa yang sopan dan bersifat membangun